Sejarah Kertas
Kejayaan Khilafah : Jejak
Industri Kertas di Dunia Islam
Lembaran kertas
benar-benar telah mengubah dunia. Kertas telah membuat ilmu pengetahuan dan
peradaban manusia berkembang begitu cepat, secepat kilat. Cendekiawan Muslim,
Ziauddin Sardar, menyatakan, pembuatan kertas pada masa kejayaan kekhalifan
Islam merupakan peristiwa paling revolusioner dalam sejarah manusia. ”Pembuatan
kertas juga merupakan tonggak penting dalam sejarah peradaban manusia,” ungkap
Sardar dalam bukunya berjudul Kembali ke Masa Depan. Umat Islam berperan besar
dalam proses pembuatan kertas. Bayangkan, jika kertas tak diproduksi umat
Islam. Pastilah, ilmu pengetahuan dan teknologi tak berkembang pesat, seperti
saat ini.
Meski penggunaan kertas mulai menyusut di era digital
ini, namun kertas telah berjasa mengantarkan manusia memasuki zaman cyber. Jauh
sebelum kertas ditemukan, manusia kuno mengungkapkan perasaannya di atas batu
dan tulang belulang. Menulis di atas batu telah dilakukan bangsa Sumeria sejak
3.000 tahun SM. Orang-orang Chaldea dari Babylonia Kuno menulis di tanah liat.
Bangsa Romawi menggunakan perunggu untuk mencatat.
Pada Abad ke-9 SM, buku-buku besar tersusun dari lembaran-lembaran kayu telah
dipakai sebelum masa Homer. Masyarakat Mesir kuno, menggunakan papirus untuk
menulis dan menggambar. Papyrus sudah menyerupai kertas, dari kata itu pula
orang Barat mengenal paper (kertas).
Papirus merupakan tanaman yang tinggi tangkainya
mencapai 10 hingga 15 kaki. Tangkainya berbentuk segi tiga secara bersilangan
dan di sekeliling dasarnya tumbuh beberapa daun yang berserabut pendek. Kertas
orang Mesir (papyrus) itu telah berkembang dengan pesat pada abad ke-3 SM
hingga 5 SM. Penggunaan papyrus mulai terkikis ketika bangsa Mesir mulai
beralih ke kulit binatang.
Kali pertama, kertas ditemukan di Cina pada era
kekuasaan Kaisar Ho-Ti dari Dinasti Han. Konon, menurut sejarah lama Cina,
cikal-bakal pembuatan kertas mulai dikembangkan seorang pejabat pemerintah
bernama Ts’ai Lun pada tahun 105 M. Meski begitu, banyak pula yang meragukan
Ts’ai Lun sebagai penemu kertas.
”Meski dokumen-dokumen sejarah lama Cina secara
hati-hati dan eksplisit menyebut Ts’ai Lun sebagai penemu kertas. Namun,
pastinya ide dan produk kertas tak muncul secara serta merta,” papar Sukey
Hughes dalam buku Washi The World of Japanese Paper. Terlebih, peradaban Cina
sudah mulai mengenal kertas sejak tahun 100 SM. Kertas yang dibuat Tsiau Lun
berasal dari kulit pohon murbei.
Selain peradaban Cina, konon bangsa India pun pada
tahun 400 M sudah mulai mengenal kertas. Lalu sejak kapan peradaban Islam mulai
akrab dengan kertas? Menurut Sardar, pertama kali kertas diperkenalkan ke dunia
Islam pada abad ke-8 M di Samarkand, Irak. Teknologi industri kertas mulai
berkembang pesat di dunia Islam, setelah terjadinya Pertempuran Talas pada 751
M.
Kaum Muslim berhasil menawan orang Cina yang ulung
membuat kertas. ”Para tahanan itu segera diberi fasilitas untuk memperlihatkan
keterampilan mereka,” papar Sardar. Sayangnya, proses pembuatan kertas yang
diperkenalkan orang-orang Cina itu tak bisa dilajutkan, lantaran tak ada kulit
pohon murbei di negeri Islam.
Para sarjana Muslim pun memutar otak. Sebuah terobosan
spektakuler akhirnya tercipta. Mereka memperkenalkan penemuan baru dan inovasi
yang mengubah keterampilan membuat kertas menjadi sebuah industri. Kulit pohon
murbei diganti dengan pohon linen, kapas, dan serat.
Selain itu, para sarjana Islam pun memperkenalkan
bambu yang digunakan untuk mengeringkan lembaran kertas basah dan memindahkan
kertas ketika masih lembab. Inovasi lainnnya proses permentasi untuk
mempercepat pemotongan linen dan serat dengan menambahkan pemutih atau bahan
kimiawi lainnya.
Proses pembuatan kertas juga menggunakan palu penempa
besar untuk menggiling bahan-bahan yang akan dihaluskan. Awalnya, proses ini
melibatkan para pekerja ahli. Namun, seiring ditemukannya kincir air di Jativa,
Spanyol pada 1151 M, palu penempa tak lagi digerakkan tenaga manusia. Sejak itu
penggilingan bahan-bahan menggunakan tenaga air.
Tak lama kemudian, orang-orang Muslim memperkenalkan
proses pemotongan kertas dengan kanji gandum. Proses ini mampu menghasilkan
permukaan kertas yang cocok untuk ditulis dengan tinta. Sejak saat itu,
industri kertas menyebar dengan cepat ke negeri-negeri Muslim.
Percetakan kertas pertama di Baghdad didirikan pada
tahun 793 M, era Khalifah Harun Al-Rasyid dari Daulah Abbasiyah. Setelah itu,
pabrik-pabrik kertas segera bermunculan di Damskus, Tiberia, Tripoli, Kairo,
Fez, Sicilia Islam, Jativa, Valencia, dan berbagai belahan dunia Islam lainnya.
Wazir Dinasti Abbasiyah, Ja’far Ibnu Yahya, mulai
mengganti parkemen dengan kertas di kantor-kantor pemerintahan. Pada abad
ke-10, berdiri pabrik kertas yang mengapung di Sungai Tigris. Kertas pun begitu
populer di dunia Islam dari India sampai Spanyol.
Saking populernya kertas, seorang petualang Persia
pada 1040 mencatat: Di Kairo para pedagang sayuran dan rempah-rempah sudah
menggunakan kertas untuk membungkus semua dagangannya. Padahal, pada saat itu
Eropa sama sekali belum mengenal kertas. Eropa yang tengah dicengkram kegelapan
masih memakai parkemen.
Orang Barat baru mengenal kertas beberapa ratus tahun
setelah orang Muslim menggunakannya. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun
pada 1276 M di Fabrino, Italia. Seabad kemudian, berdiri pabrik kertas di Nuremberg
Jerman. Barat mempelajari tata cara membuat kertas, setelah Kristen menginvasi
Spanyol Islam. Setelah kejayaan Islam redup, Barat akhirnya mendominasi
industri kertas.
Kertas dan
Revolusi Budaya
”Produksi kertas tak hanya memberi rangsangan luar biasa
untuk menuntut ilmu, tetapi membuat harga buku semakin murah dan mudah
diperoleh. Hasil akhirnya adalah revolusi budaya,” cetus Cendekiawan Muslim,
Ziauddin Sardar.
Menurut dia, produksi buku dalam skala yang tak pernah
terjadi sebelumnya membuat konsep ilmu bertransformasi menjadi sebuah praktik
yang benar-benar distributif.
Bermunculannya industri kertas pada era kejayaan Islam
juga telah melahirkan sejumlah profesi baru. Salah satunya adalah warraq.
Mereka menjual kertas dan berperan sebagai agen. Selain itu, warraqin juga
bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para
pelanggannya. Mereka juga menjual buku dan membuka toko buku.
Menurut Sardar, sebagai agen, warraqin juga sering
membuat sendiri kertas untuk mencetak buku. Sebagai penjual buku, warraqin
mengatur segalanya, mulai dari mendirikan kios di pinggir jalan hingga
toko-toko besar yang nyaman jauh dari debu-debu pasar. Kios-kios buku itu
umumnya berdiri di jantung kota-kota besar, seperti Baghdad, Damskus, kairo, Granada,
dan Fez.
Seorang sarjana Muslim, Al-Yaqubi dalam catatannya
mengungkapkan pada abad ke-9, di pinggiran kota Baghdad terdapat tak kurang
dari 100 kios buku. Di toko-toko buku besar, kerap berlangsung diskusi informal
membedah buku. Acara itu dihadiri para penulis dan pemikir terkemuka.
Sardar menuturkan, salah satu toko buku terkemuka
dalam sejarah Islam adalah milik Al-Nadim (wafat 990 M). Dia adalah seorang
kolektor buku pada abad ke-10. Toko buku Al-Nadim di Baghdad dipenuhi ribuan
manuskrip dan dikenal sebagai tempat pertemuan para pemikir, penyair terkemuka
pada masanya. Katalog buku-buku yang terdapat di tokonya Al-Fihrist Al-Nadim
dilengkapi dengan catatan kritis. Katalog itu dikenal sebagai ensiklopedia
kebudayaan Islam abad pertengahan.
Industri penerbitan yang dipelopori warraqin dilakukan
dengan sistem kerja sama antara penulis dengan penerbit. Seorang penulis yang
ingin menerbitkan bukunya bisa menyampaikan keinginannya secara publik atau
menghubungi satu atau dua warraqin. Buku tersebut nantinya akan ‘diterbitkan’
di sebuah masjid atau di toko buku terkenal.
Selama masa yang ditentukan, setiap harinya penulis
buku itu akan mendiktekan isi bukunya. Setiap orang boleh menghadiri acara itu.
Biasanya, para pelajar dan sarjana berkerumun menyimak acara penting itu. Para
penulis biasanya menegaskan bahwa hanya warraqin saja yang boleh menulis
bukunya.
Ketika buku selesai ditulis, manuskrip tangan akan
diperiksa dan diperbaiki penulisnya. Setelah sepakat, buku akan diterbitkan dan
dijual kepada pembaca. Sesuai kesepakatan, penulis akan mendapat royalti dari
warraqin. Tumbuh suburnya industri penerbitan membuat gairah membaca masyarakat
Muslim begitu tinggi.
Untuk menampung buku-buku yang terus terbit,
dibangunlah perpustakaan-perpustakaan. Salah satu perpustakaan terkemuka adalah
Baitul Hikmah yang dibangun Khalifah Harun Al-Rasyid di kota Baghdad.
0 Response to "Sejarah Kertas"
Post a Comment